HILANGKAN SIKAP APRIORI TERHADAP THAREKAT Oleh: KH. M. Zein ZA. Bazul Asyhab r.a



HILANGKAN SIKAP APRIORI TERHADAP THAREKAT 
Oleh: KH. M. Zein ZA. Bazul Asyhab r.a

Perlu diingat oleh semuanya, baik oleh para sarjana atau profesor sekalipun agar jangan sampai melanggar adat. Karena ketinggian ilmu dalam tharekat tidak menjamin tingginya maqom (kedudukan) di dalam tharekat.

Dalam tharekat ada istilah “al-faidz” (limpahan). Siapa saja orang yang merasa paling bawah, maka dialah yang mendapatkan “al-faidz” tersebut. Bersyukurlah orang yang sudah lama belajar dzikir (TQN), akan tetapi jangan sampai menepuk dada “Saya kan sudah 15 tahun lebih masuk tharekat, sedang Anda baru kemarin”. Karena terkadang orang yang belajar dzikir dengan ikhlas (walaupun baru) mampu melaksanakan perjalanan jauh dari bumi sampai ke Alam Lahut menembus Alam Malakut dan Jabarut dalam sekejap.

Dimana kalau dilaksanakan oleh orang lain mungkin memerlukan waktu puluhan tahun. Oleh karena itu didalam belajar tharekat tidak ada istilah depan-belakang. Mari kita belajar bertawadhu. Sehingga semakin dekat kita kepada Allah, maka kita semakin merasa jauh dari Allah. Semakin tinggi kedudukan kita, aka semakin merasa rendahlah kedudukan kita. Semakin kita bersih, maka semakin kita merasa lebih kotor. Karena orang yang tidak mengetahui dan tidak merasa kotor dirinya, maka dia tidak mau membersihkan diri. Cobalah kita perhatikan orang gila yang memakai pakaian jelek dan kotor dilihat dhohirnya. Maka ketika kita tanya mengapa memakai pakaian jelek dan kotor, malah mungkin dia menjawab “Pakaian sebaik ini disebut kotor”. Jadi orang yang kotor tetapi tidak merasa kotor itulah sebenarnya orang gila. Sebaliknya orang yang merasa gila itu adalah orang sehat.

 Ilmu dalam Islam itu benyak dan sangat luas. Dimanakah kita menemukannya ? Kita dapat menemukannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seluas apakah ilmu yang ada dalam Al-Qur’an itu ? Tidak bisa dibatasi, karena (syummul) mencakup semua isi kehidupan manusia, hewan, fauna, serta seluruh alam. Sebagaimana penegasan Allah dalam Al-Qur’an : “…tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) …” (Al-An’am : 38). Begitu juga hadits Rosul sangat luas, walaupun tidak semuanya tercatat.

Bersyukurlah orang yang bisa membaca dan memahami Shohih Bukhori 4 jilid misalnya, yang disyarahkan oleh “kastholani” dan “Fathul Bari”, serta sunan-sunan yang tujuh dan lainnya. Akan tetapi kalau ada orang yang mengatakan suatu hadits yang tidak ditemukan dalam kitab hadits yang kita miliki, maka jangan dulu mengatakan : “Hadits itu dhoif, Laa ashla lahu (tidak ada asal usulnya)”.

Mengapa ini perlu dijelaskan ? Karena kita mengetahui secara persis bahwa hadits yang banyak digunakan oleh Ahli Tasawuf seperti Imam Ghazali adalah kitabnya “Ihya Ulumuddin” banyak diberi catatan kaki dengan perkataan : “Laa Ilaaha ashla lahu (tidak ada asal usulnya hadits ini). Karena penulisnya tidak menemukan hadits yang dimaksud dalam kitab seperti Bukhori atau lainnya. Padahal tidak semua yang diucapkan oleh Baginda Rasul dicatat, dikarenakan Rasul tidak mempunyai petugas khusus yang membawa handycam (perekam) kemana-mana.

 Selain itu penulisan hadits itu hampir seratus tahun setelah Rasul wafat (Abad ke-2 H). Apalagi penulis hadits seperti Bukhari sangat berhati-hati dalam menulisnya. Sehingga adakalanya matanya sangat pendek sekali, sedangkan rawinya sangat panjang sekali. Mengapa berbicara demikian ? Karena banyak orang yang membid’ahkan tharekat, mereka mengatakan “tidak ada dari Rasulnya dan tidak ada dalam haditsnya”. Apakah memang tidak ada dalam haditsnya atau mereka belum menemukannya ? apalagi yang belum ditemukan haditsnya, sedangkan yang sudah ditemukan saja susah untuk memahaminya secara betul. Contohnya seperti hadits : “Al-Mukmin mir-atu al-mukmin”.

Selama ini maknanya bahwa kita harus menjadi cermin kepada orang lain, sehingga jangan menyakiti orang lain karena kitapun pasti sakit. Akan tetapi setelah dibaca “Sirrul Asror” Astagfirullah salah. Makna yang benar adalah al-mukmin pertama adalah hati orang mukmin itu harus seperti Al-Muhaemin (Allah SWT). Ahli Tasawuf mempunyai teknis yang lain. Dikarenakan kholwat dan ibadahnya sangat bagus, maka Allah sangat ridho kepadanya, juga para Rasul sangat menyenanginya, para ahlinya sangat dekat dengannya.

 Sehingga Ahli Tasawuf atau orang yang tasawufnya sudah benar sering didatangi Rasul secara langsung. Pada saat pertemuan rohani seperti itulah seorang sufi bertanya kepada Rasul : “Berilah wasiat atau bertanya “Apakah ini kalammu ya Rasul ?”. Sehingga dalam kitab tasawuf banyak hadits yang dicari dalam Bukhori tidak ditemukan, dikarenakan Bukhori memang tidak menulisnya. Jadi jangan mudah membid’ahkan sesuatu yang belum mengerti betul seperti tharekat. Anda yang membid’ahkan tharekat , suka merokok tidak ? “Kalau suka, apakah Rasul merokok Gudang Garam atau 123 ? Kalau Rasul tidak merokok, berarti merokok bid’ah. Maka setiap bid’ah dholalah dan dalam neraka. Oleh karena itu mari kita kembali kepada prinsip “Untuk apakah dzikir ?”. Dzikir adalah untuk membersihkan hati. Karena semakin kita tua, maka semakin besar dan tebal dosa kita. Dosa model lama belum ditinggalkan, sudah ditambah dosa model baru yang sering dilaksanakan.

Contohnya : dulu selalu menjelekkan orang lain, sekarang masih suka. Sekarang ditambah TV/Film yang menayangkan porno, apakah dosa ? Ini baru dosa dhohir, belum lagi dosa bathin yang cikal bakalnya ada 7 : sombong, dengki, jelek adab, pemarah, tamak, malas, bathil. Apakah dosa bathin itu ada dalam diri kita ? Fir’aun adalah sombong, apakah kita menjadi anak buahnya tidak ? Merasakah diri kita sombong ? Karena menurut Tanbih bahwa orang yang belajar dzikir itu perlu merasa dan merasakan.

Inilah sebetulnya Fadhilah Allah (Keutamaan Allah) yang disimpan di PP. Suryalaya. Seperti kalau kita bekerja diseseorang. Suatu hari dia (bos kita) datang dan kebetulan kita sedang bermain layang-layang diwaktu seharusnya bekerja. Akhirnya Bos kita berkata : “Kamu harus bekerja dengan betul!”. Malah kita menjawab : “Terserah saya saja, jangan ikut mengatur”. Coba anda ambil kesimpulan “Apakah kita itu seorang pekerja yang baik atau bukan ? Apakah kita pegawai sombong ?” berarti kita persis seperti Fir’aun. Pernahkah kita ketika sedang enak bekerja atau bermain, lalu terdengar adzan terus saja bekerja atau bermain ? Walau tidak diucapkan, tetapi sikap Anda yang tidak peduli kepada Adzan berarti sama seperti berkata kepada Allah : “Hai Allah ! Jangan ikut mengatur ? Sedang enak kita kerja (main) malah disuruh sholat”. Pernahkah anda mengakhir-akhirkan sholat ? Berarti kita ini sombong dan menjadi anak buah Fir’aun. Sehingga oleh Fir’aun dianggap anak buah karena sombong, oleh Qorun juga dianggap abak buah karena bakhil. Merasakah kita ? Apakah perlu kita perbaiki atau tidak ? Disinilah pentingnya dzikir dan tharekat agar kita mampu membersihkan penyakit hati.

Related Posts

Post a Comment